TUGAS DAN PERANAN KEPALA SEKOLAH DASAR
Diajukan Untuk
Memenuhi Salah Satu Syarat Rekrutmen
Calon Kepala
Sekolah Dasar Di Kabupaten Purwakarta
Disusun
oleh:
Hj.
LILIS ROHAETI,S.Pd.
NIP:196103091982012005
DINAS
PENDIDIKAN PEMUDA DAN OLAH RAGA KAB. PURWAKARTA
U P T D PEMBINAAN TK/SD DAN PLS KEC.CAMPAKA
SEKOLAH
DASAR NEGERI CIJAYA
Kp. Paldalapan Desa Cijaya Kec. Campaka
Purwakarta Kode Pos 41181
E-mail :sdn.cijaya.pwk@gmail.com
PEMERINTAHAN KA2BUPATEN PURWAKARTA
KATA
PENGANTAR
Segala Puji dan syukur hanya milik Alloh SWT yang senantiasa
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul
“Tugas Dan Peranan Kepala Sekolah Dasar “. Adapun tujuan penulisan
makalah ini, untuk memenuhi salah satu syarat seleksi calon kepala sekolah SD
di Kabupaten Purwakarta.
Penulis
menyadari karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuan , maka makalah ini jauh
dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat diharapkan untuk penyempurnaan
penulisan makalah selanjutnya.
Akhirnya, mohon maaf atas segala kekurangan dan kekhilafan , semoga segala upaya yang telah dilaksanakan bermanfaat dan senantiasa mendapat petunjuk dan ridho Alloh swt
Akhirnya, mohon maaf atas segala kekurangan dan kekhilafan , semoga segala upaya yang telah dilaksanakan bermanfaat dan senantiasa mendapat petunjuk dan ridho Alloh swt
.
Purwakarta
, Januari 2013
Penulis
BAB I
Penjaminan mutu
merupakan kata kunci yang menjadi
fenomena dalam dunia pendidikan, hal ini terjadi seiring dengan terbitnya
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional serta Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun
2005 tentang Standar nasional pendidikan.
Implementasi dari kedua
payung hukum tersebut di lakukan oleh pemerintah, antara lain dengan terbitnya
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Nomor 13 tahun 2007 tentang Standar Kompetensi Kepala Sekolah.
Salah satu isi dari PerMendiknas tersebut adalah kompotensi manajerial,
kepemimipinan merupakan standar kompetensi yang harus dimiliki oleh kepala sekolah.
Disamping itu pelaksanaan Otonomi Daerah mengharuskan kepala sekolah untuk
mampu menyesuaikan dengan situasi dan kondisi peraturan yang berlaku di daerah
masing masing.
Atas dasar pokok
pikiran tersebut maka kepala sekolah harus mempunyai ketrampilan dalam bidang
kepemimpinan.
Paradigma baru manajemen pendidikan dalam rangka meningkatkan kualitas
secara efektif dan efisien, perlu didukung oleh Sumber Daya Manusia (SDM) yang
berkualitas. Dalam hal ini, pengembangan SDM merupakan proses peningkatan
kemampuan manusia agar mampu melakukan pilihan-pilihan. Proses pengembangan SDM
tersebut harus menyentuh berbagai bidang kehidupan yang tercermin dalam pribadi
pimpinan, termasuk pemimpin pendidikan seperti kepala sekolah.
Kepala sekolah juga merupakan pemimpin pendidikan yang sangat penting
karena kepala sekolah berhubungan langsung dengan pelaksanaan program
pendidikan di sekolah. Ketercapaian tujuan pendidikan sangat bergantung pada
kecakapan dan kebijaksanaan kepemimpinan kepala sekolah yang merupakan salah
satu pemimpin pendidikan. Karena kepala sekolah merupakan seorang pejabat yang
profesional dalam organisasi sekolah yang bertugas mengatur semua sumber
organisasi dan bekerjasama dengan guru-guru dalam mendidik siswa untuk mencapai
tujuan pendidikan.
Sedangkan dalam konteks dimensi kompetensi, seorang kepala sekolah dituntut
memiliki sejumlah kompetensi. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor
13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah telah ditetapkan bahwa
ada lima dimensi kompetensi yaitu: kepribadian, manajerial, kewirausahaan,
supervisi, dan sosial.
BAB II
TUGAS DAN
PERANAN KEPALA SEKOLAH DASAR
- 2.
Pengertian
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagaimana dikutip oleh Wahjosumidjo
(1999:83), kepala sekolah berasal dari dua kata yaitu “Kepala” dan “Sekolah”
kata kepala dapat diartikan ketua atau pemimpin dalam suatu organisasi atau
sebuah lembaga. Sedang sekolah adalah sebuah lembaga di mana menjadi tempat
menerima dan memberi pelajaran. Jadi secara umum kepala sekolah dapat diartikan
pemimpin sekolah atau suatu lembaga di mana tempat menerima dan memberi
pelajaran.
Sedangkan Wahjosumidjo (1999:83) sendiri mengartikan bahwa kepala sekolah
adalah seorang tenaga fungsional guru yang diberi tugas untuk memimpin suatu
sekolah, tempat diselenggarakannya proses belajar mengajar, atau tempat
terjadinya interaksi antara guru yang memberi pelajaran dan murid yang menerima
pelajaran.
Kata ’memimpin’ dari rumusan tersebut mengandung makna luas, yaitu
kemampuan untuk menggerakkan segala sumber yang ada pada suatu sekolah sehingga
dapat didayagunakan secara maksimal untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Dalam praktik lembaga, kata ’memimpin’ mengandung konotasi
menggerakkan, mengarahkan, membimbing, melindungi, membina, memberikan teladan,
memberikan dorongan, memberikan bantuan, dan sebagainya.
Dan sebagaimana termuat dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor
28 Tahun 2010 tentang Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah/ Madrasah pada Bab
I pasal 1 bahwa yang dimaksud dengan kepala sekolah/madrasah adalah guru yang
diberi tugas tambahan untuk memimpin taman kanak-kanak/raudhotul athfal
(TK/RA), taman kanak-kanak luar biasa (TKLB), sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah
(SD/MI), sekolah dasar luar biasa (SDLB), sekolah menengah pertama/madrasah
tsanawiyah (SMP/MTs), sekolah menengah pertama luar biasa (SMPLB), sekolah
menengah atas/madrasah aliyah (SMA/MA), sekolah menengah kejuruan/madrasah
aliyah kejuruan (SMK/MAK), atau sekolah menengah atas luar biasa (SMALB) yang
bukan sekolah bertaraf internasional (SBI) atau yang tidak dikembangkan menjadi
sekolah bertaraf internasional (SBI).
Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kepala
sekolah adalah jabatan pimpinan, yaitu tenaga fungsional guru yang diberi tugas
dan tanggung jawab serta mempunyai kemampuan untuk memimpin segala sumber daya
yang ada pada suatu sekolah sehingga dapat didayagunakan secara maksimal untuk
mencapai tujuan bersama.
Tidak mudah untuk menjadi kepala sekolah profesional, banyak hal yang harus
dipahami, banyak masalah yang harus dipecahkan, dan banyak strategi yang harus
dikuasai. Oleh karena itu, kepala sekolah dituntut memiliki kompetensi dan
profesionalisme yang memadai. Untuk meningkatkan kualitasnyapun perlu diadakan
pendidikan dan pelatihan calon kepala sekolah serta sertifikasi kompetensi dan
penilaian kinerja kepala sekolah. Maka, untuk melahirkan seorang kepala sekolah
yang profesional dibutuhkan sistem yang kondusif, baik rekrutmen maupun
pembinaan.
Selain itu, periodisasi masa jabatan kepala sekolah yang dilaksanakan
secara konsisten dengan penilaian kinerja yang akuntabel serta transparan akan
mendorong peningkatan mutu pendidikan di sekolah-sekolah. Kepala sekolah akan
bekerja keras untuk meningkatkan prestasi sekolahnya sebagai bukti prestasi
kinerjanya, sehingga masa jabatannya bisa diperpanjang atau mendapat promosi
jabatan yang lebih tinggi. Prestasi yang diraih sekolah-sekolah akan
meningkatkan mutu pendidikan di daerah dan akhirnya meningkatkan mutu
pendidikan nasional.
PEMBAHASAN
A.
TUGAS DAN PERANAN KEPALA SEKOLAH DASAR
Sekolah dasar merupakan salah satu
organisasi pendidikan yang utama dalam jenjang pendidikan dasar. Dalam
peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 28 tahun 1990 telah disebutkan
bahwa pendidikan dasar bertujuan untuk memberikan bekal kemampuan dasar kepada
peserta didik untuk mengembangkan kehidupannya sebagai pribadi, anggota
masyarakat, warga negara, dan anggota umat manusia, serta mempersiapkan peserta
didik untuk mengikuti pendidikan menengah.
Berdasarkan rumusan tersebut, dapat
digarisbawahi bahwa sekolah dasar sebagai lembaga pendidik diharapkan bisa berfungsi sebagai: (1)
peletak dasar perkembangan pribadi anak untuk menjadi warga negara yang baik,
(2) peletak dasar kemampuan dasar anak, dan (3) penyelenggara pendidikan awal
untuk persiapan melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, yaitu
pendidikan menengah. Kemampuan dasar utama yang diberikan kepada anak sekolah
dasar adalah kemampuan dasar yang membuat bisa berpikir kritis dan imajinatif
yang tercermin dalam modus kemampuan menulis, berhitung dan membaca. Ketiga
aspek kemampuan dasar tersebut merupakan kemampuan utama yang dibutuhkan dalam
abad informasi.
Ditinjau dari
komponennya, ada beberapa unsur atau elemen utama dalam organisasi sekolah
dasar. Unsur-unsur tersebut meliputi: (1) sumber daya manusia, yang mencakup
kepala sekolah, guru, pegawai administrasi, dan siswa, (2) sumber daya
material, yang mencakup peralatan, bahan, dana, dan sarana prasarana lainnya,
(3) atribut organisasi, yang mencakup tujuan, ukuran, struktur tugas, jenjang
jabatan, formalisasi, dan peraturan organisasi, (4) iklim internal organisasi,
yakni situasi organisasi yang dirasakan personel dalam proses interaksi, dan
(5) lingkungan organisasi sekolah.
Ditinjau dari
karakteristiknya, sekolah dasar merupakan suatu sistem organisasi. Sebagai
suatu sistem organisasi, sekolah dasar bisa ditinjau dari dua sisi, yaitu sisi
struktur organisasi dan perilaku organisasi. Struktur organisasi mengacu pada framework organisasi, yaitu tata
pembagian tugas dan hubungan baik secara vertikal, horizontal dan diagonal. Hal
ini bisa mencakup spesifikasi jabatan, pembagian tugas, garis perintah, peraturan
organisasi, serta hierarki kewenangan dan tanggung jawab. Perilaku organisasi
mengacu pada aspek-aspek tingkah laku manusia dalam organisasi. Organisasi
sekolah dipandang sebagai suatu sistem sosial, yang di dalamnya terjadi
interaksi antar individu untuk mencapai tujuan organisasi. Salah satu atribut
yang banyak berkaitan dengan interaksi perilaku individu dalam organisasi adalah
budaya organisasi.
ada tiga komponen
yang berkaitan dengan budaya organisasi sekolah dasar, yaitu: (1) institusi
atau lembaga yang perannya dilakukan oleh kepala sekolah sebagai pemimpin
organisasi sekolah, (2) guru-guru sekolah dasar sebagai individu yang memiliki
kepribadian dan kebutuhan, baik kebutuhan profesional maupun kebutuhan sosial,
dan (3) interaksi dari kedua komponen tersebut. Untuk itu, kepala sekolah harus
mampu mengintegrasikan kedua komponen tersebut, yakni peranan, tuntutan dan
harapan lembaga, dengan kepribadian, dan kebutuhan guru, agar bisa mencapai
tujuan organisasi secara optimal.
Keberhasilan
organisasi sekolah banyak ditentukan keberhasilan kepala sekolah dalam
menjalankan peranan dan tugasnya. Peranan adalah seperangkat sikap dan perilaku
yang harus dilakukan sesuai dengan posisinya dalam organisasi. Peranan tidak
hanya menunjukkan tugas dan hak, tapi juga mencerminkan tanggung jawab dan
wewenang dalam organisasi. Sergiovanni (1991) membedakan tugas kepala sekolah
menjadi dua, yaitu tugas dari sisi administrative process atau proses
administrasi, dan tugas dari sisi task areas bidang garapan pendidikan. Tugas
merencanakan, mengorganisir, meng-koordinir, melakukan komunikasi,
mempengaruhi, dan mengadakan evaluasi merupakan komponen-komponen tugas proses.
Program sekolah, siswa, personel, dana, fasilitas fisik, dan hubungan dengan
masyarakat merupakan komponen bidang garapan kepala sekolah dasar.
Di sisi lain, sesuai dengan konsep
dasar pengelolaan sekolah, Kimbrough & Burkett (1990) mengemukakan enam
bidang tugas kepala sekolah dasar, yaitu mengelola pengajaran dan kurikulum,
mengelola siswa, mengelola personalia, mengelola fasilitas dan lingkungan
sekolah, mengelola hubungan sekolah dan masyarakat, serta organisasi dan
struktur sekolah.
Berdasarkan landasan teori tersebut,
dapat digarisbawahi bahwa tugas-tugas kepala sekolah dasar dapat diklasifikasi
menjadi dua, yaitu tugas-tugas di bidang administrasi dan tugas-tugas di bidang
supervisi.
Tugas di bidang administrasi adalah tugas-tugas
kepala sekolah yang berkaitan dengan pengelolaan bidang garapan pendidikan di
sekolah, yang meliputi pengelolaan pengajaran, kesiswaan, kepegawaian,
keuangan, sarana-prasarana, dan hubungan sekolah masyarakat. Dari keenam bidang
tersebut, bisa diklasifikasi menjadi dua, yaitu mengelola komponen organisasi
sekolah yang berupa manusia, dan komponen organisasi sekolah yang berupa benda.
Tugas di bidang supervisi adalah
tugas-tugas kepala sekolah yang berkaitan dengan pembinaan guru untuk perbaikan
pengajaran. Supervisi merupakan suatu usaha memberikan bantuan kepada guru
untuk memperbaiki atau meningkatkan proses dan situasi belajar mengajar.
Sasaran akhir dari kegiatan supervisi adalah meningkatkan hasil belajar siswa.
Keberhasilan kepala sekolah dalam
melaksanakan tugasnya banyak ditentukan oleh kepemimpinan kepala sekolah.
Kepemimpinan merupakan faktor yang paling penting dalam menunjang tercapainya
tujuan organisasi sekolah. Keberhasilan kepala sekolah dalam mengelola kantor,
mengelola sarana prasarana sekolah, membina guru, atau mengelola kegiatan
sekolah lainnya banyak ditentukan oleh kepemimpinan kepala sekolah. Apabila
kepala sekolah mampu menggerakkan, membimbing, dan mengarahkan anggota secara
tepat, segala kegiatan yang ada dalam organisasi sekolah akan bisa terlaksana
secara efektif. Sebaliknya, bila tidak bisa menggerakkan anggota secara
efektif, tidak akan bisa mencapai tujuan secara optimal. Untuk memperoleh
gambaran yang jelas, bagaimana peranan kepemimpinan dalam pengelolaan sekolah, maka
perlu diuraikan tentang konsep dasar kepemimpinan kepala sekolah dasar.
A.
KEPEMIMPINAN
KEPALA SEKOLAH DASAR
Istilah kepemimpinan bukan merupakan
istilah baru bagi masyarakat. Di setiap organisasi, selalu ditemukan
seorang pemimpin yang menjalankan organisasi. Pemimpin berasal dari kata “leader” yang merupakan bentuk benda dari
“to lead” yang berarti memimpin.
Untuk memahami pengertian kepemimpinan secara jelas, maka perlu dikaji beberapa
definisi yang dikemukakan para ahli kepemimpinan.
Banyak ahli yang mengemukakan pengertian kemimpinan.
Feldmon (1983) mengemukakan bahwa kepemimpinan adalah usaha sadar yang
dilakukan pimpinan untuk mempengaruhi anggotanya melaksanakan tugas sesuai
dengan harapannya. Di sisi lain, Newell (1978) mengemukakan bahwa kepemimpinan
adalah suatu proses mempengaruhi orang lain untuk mencapai pengembangan atau
tujuan organisasi. Kedua pendapat tersebut sesuai dengan pendapat Stogdil yang
mengemukakan bahwa kepemimpinan adalah proses mempengaruhi aktifitas kelompok
untuk mencapai tujuan organisasi (Wahyosumidjo, 1984).
Berdasarkan beberapa definisi yang dikemukakan para ahli
kepemimpinan tersebut, dapat digarisbawahi bahwa kepemimpinan pada dasarnya
adalah suatu proses menggerakkan, mempengaruhi dan membimbing orang lain dalam
rangka untuk mencapai tujuan organisasi. Ada empat unsur yang terkandung dalam
pengertian kepemimpinan, yaitu unsur orang yang menggerakkan yang dikenal
dengan pemimpin, unsur orang yang digerakkan yang disebut kelompok atau
anggota, unsur situasi dimana aktifitas penggerakan berlangsung yang dikenal
dengan organisasi, dan unsur sasaran kegiatan yang dilakukan.
Sekolah merupakan salah satu bentuk organisasi pendidikan.
Kepala sekolah merupakan pemimpin pendidikan di sekolah. Jika pengertian
kepemimpinan tersebut diterapkan dalam organisasi pendidikan, maka kepemimpinan
pendidikan bisa diartikan sebagai suatu usaha untuk menggerakkan orang-orang
yang ada dalam organisasi pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan. Hal ini
sesuai dengan pendapat Nawawi (1985) yang mengemukakan bahwa kepemimpinan
pendidikan adalah proses mempengaruhi, menggerakkan, memberikan motivasi, dan
mengarahkan orang-orang yang ada dalam organisasi pendidikan untuk mencapai
tujuan pendidikan.
Dalam organisasi pendidikan yang menjadi pemimpin
pendidikan adalah kepala sekolah. Sebagai pemimpin pendidikan, kepala sekolah
memiliki sejumlah tugas dan tanggung jawab yang cukup berat. Untuk bisa
menjalankan fungsinya secara optimal, kepala sekolah perlu menerapkan gaya
kepemimpinan yang tepat.
Peranan utama kepemimpinan kepala sekolah tersebut, nampak
pada pernyataan-pernyataan yang dikemukakan para ahli kepemimpinan. Knezevich
yang dikutip Indrafachrudi (1983) mengemukakan bahwa kepemimpinan adalah sumber
energi utama ketercapaian tujuan suatu organisasi. Di sisi lain, Owens (1991)
juga menegaskan bahwa kualitas kepemimpinan merupakan sarana utama untuk
mencapai tujuan organisasi. Untuk itu, agar kepala sekolah bisa melaksanakan
tugasnya secara efektif, mutlak harus bisa menerapkan kepemimpinan yang baik.
Dalam mengelola sekolah, kepala sekolah dasar bisa memilih
teori dan menerapkan gaya kepemimpinan yang tepat dari beberapa gaya
kepemimpinan yang ada sesuai dengan karakter pribadi, dan kondisi organisasi
sekolah yang dipimpin. Yang penting kepala sekolah dasar, harus bisa menampilkan
peranan kepemimpinan yang baik. Berkaitan dengan peranan kepemimpinan kepala
sekolah tersebut, Sergiovanni (1991) mengemukakan enam peranan kepemimpinan
kepala sekolah, yaitu kepemimpinan formal, kepemimpinan administratif, kepemimpinan
supervisi, kepemimpinan organisasi, dan kepemimpinan tim. Kepemimpinan formal mengacu pada tugas kepala sekolah
untuk merumuskan visi, misi dan tujuan organisasi sesuai dengan dasar dan
peraturan yang berlaku. Kepemimpinan administratif, mengacu pada tugas kepala
sekolah untuk membina administrasi seluruh staf dan anggota organisasi sekolah.
Kepemimpinan supervisi mengacu pada tugas kepala sekolah untuk membantu dan
membimbing anggota agar bisa melaksanakan tugas dengan baik. Kepemimpinan organisasi
mengacu pada tugas kepala sekolah untuk menciptakan iklim kerja yang kondusif,
sehingga anggota bisa bekerja dengan penuh semangat dan produktif. Kepemimpinan
tim mengacu pada tugas kepala sekolah untuk membangun kerja sama yang baik
diantara semua anggota agar bisa mewujudkan tujuan organisasi sekolah secara
optimal.
Kepemimpinan
kepala sekolah yang baik dapat membuat anggota menjadi percaya, loyal, dan
termotivasi untuk melaksanakan tugas-tugas organisasi secara optimal. Untuk
itu, keberhasilan kepemimpinan kepala sekolah dapat dilihat dari performansi
anggota. Salah satu faktor yang menunjukkan performansi anggota adalah semangat
kerjanya.
Semangat
kerja berasal dari kata morale. Semangat kerja
bisa juga diartikan kegairahan kerja. Semangat kerja merupakan salah satu
faktor utama yang menentukan terhadap keberhasilan pelaksanaan tugas. Bila
seseorang memiliki semangat kerja yang tinggi akan melaksanakan tugas secara
optimal. Sebaliknya, bila seseorang kurang memiliki semangat kerja yang baik,
tidak akan bisa melaksanakan tugas secara optimal.
Ada
beberapa ahli yang mengemukakan pengertian semangat kerja. Beach (1980)
mendefinisikan semangat kerja sebagai kepuasan kerja seseorang yang diperoleh
dari pekerjaannya, kelompok kerja, pimpinan, organisasi, dan lingkungannya. Di
sisi lain, Burrub mengemukakan bahwa semangat kerja merupakan suatu daya juang
kelompok secara teguh dan konsisten untuk mencapai tujuan. Hornby menegaskan
bahwa semangat kerja adalah kondisi mental yang penuh kemauan, kesungguhan,
kedisiplinan, dan keteguhan dalam menghadapi tantangan untuk mencapai tujuan
(Sutheja, 1988).
Berdasarkan
beberapa pengertian tersebut, dapat digarisbawahi bahwa semangat kerja adalah
kondisi mental yang penuh kesungguhan, kedisiplinan, daya juang, dan keteguhan untuk
melaksanakan tugas/pekerjaan dalam rangka mencapai tujuan secara optimal.
Semangat kerja guru berarti kondisi mental guru yang berupa reaksi emosional
yang penuh kesungguhan, kedisiplinan, daya juang, dan keteguhan dalam
melaksanakan tugas-tugasnya sebagai guru untuk mencapai tujuan pendidikan
secara optimal.
Ditinjau
dari komponennya, ada tiga faktor yang terkandung dalam pengertian semangat
kerja, yaitu identifikasi (identification), rasa memiliki (belongingness),
dan rasionalitas (rationality). Identifikasi menunjuk pada komunalitas
tujuan. Seorang guru yang memiliki semangat kerja tinggi merasa kebutuhan
individunya sesuai dengan tujuan organisasi. Rasa memiliki artinya ada
kesesuaian antara kebutuhan dirinya dengan kebutuhan pimpinan. Rasionalitas
artinya terdapat kesesuaian antara kebutuhan pimpinan dengan tujuan organisasi
(Gorton, 1991).
Semangat
kerja bukan merupakan suatu perilaku, namun sangat berpengaruh terhadap
perilaku. Seorang yang personel akan berusaha secara optimal dalam melaksanakan
tugas bila memiliki semangat kerja yang tinggi. Sebaliknya, seorang personel
tidak akan melaksanakan tugas secara baik, bila semangat kerjanya rendah.
Demikian
juga untuk jabatan guru. Seorang guru akan berusaha secara optimal dalam
melaksanakan tugas-tugasnya, apabila memiliki semangat kerja yang tinggi.
Sebaliknya, bila semangat kerjanya rendah, guru tidak akan melaksanakan
tugas-tugasnya secara baik.
Ditinjau dari tugasnya, ada beberapa tugas
guru sekolah dasar. Daughtrey dan Lewis (1979) mengemukakan tugas guru sekolah
dasar menjadi dua, yaitu tugas di sekolah dan tugas di masyarakat. Tugas di
sekolah dibedakan menjadi dua, yaitu tugas di bidang administrasi sekolah (general duties) dan tugas di bidang
pengajaran (special duties).
Sahertian (1990) mengemukakan empat tugas utama guru, yaitu tugas bidang
pengajaran, tugas kemasyarakatan, tugas pertumbuhan karir, dan tugas
administratif. Di sisi lain, pendapat yang lebih umum, membagi tugas utama guru
sekolah dasar menjadi tiga, yaitu tugas profesional, tugas personal, dan tugas
sosial (Usman, 1992).
Tugas
profesional adalah tugas utama yang berkaitan dengan profesi guru. Tugas ini
meliputi tugas mengajar, mendidik, dan membimbing. Kegiatan menyusun rencana
pengajaran, menguasai bahan, menggunakan metode dan media pengajaran, mengelola
kelas, mengadakan evaluasi, dan melakukan bimbingan merupakan bagian dari tugas
profesional. Bahkan menguasai landasan kependidikan dan mengadakan penelitian
untuk pengembangan merupakan bagian dari tugas profesional (Raka Joni, 1991).
Tugas
personal adalah tugas yang berkaitan dengan pengembangan pribadi guru. Tugas
ini mengacu pada usaha untuk menjalankan perilaku diri yang baik. Usaha untuk
mewujudkan dirinya, merealisasi potensi yang dimiliki, melakukan auto identifikasi,
dan auto pengertian untuk menjadi teladan serta menempatkan diri dalam
kehidupan masyarakat termasuk dalam tugas personal.
Tugas
sosial adalah tugas yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat. Sebagai anggota
masyarakat, guru sekolah dasar memiliki tugas untuk membantu dan mengembangkan
kehidupan masyarakat. Di satu sisi, guru diharapkan bisa menerima harapan
masyarakat, di sisi lain, guru diharapkan bisa menjadi pembaharu dalam
kehidupan masyarakat.
Berdasarkan
surat keputusan Menpan Nomor 86 tahun 1993, ada empat bidang tugas yang harus
dilaksanakan guru, yaitu tugas di bidang pendidikan, proses belajar mengajar
dan bimbingan, pengembangan profesi, dan penunjang pendidikan. Berdasarkan
beberapa landasan teoritis dan praktis ini, dalam penelitian ini semangat kerja
guru dalam melaksanakan tugas dibatasi pada tugas pokok guru, yaitu tugas di
bidang pendidikan, tugas di bidang pengajaran dan bimbingan, serta tugas di
bidang penunjang pendidikan.
Kepemimpinan kepala sekolah sangat berpengaruh dalam
meningkatkan semangat kerja guru dalam melaksanakan tugas. Hasil penelitian
Hersey menunjukkan bahwa ada sepuluh faktor yang mempengaruhi semangat kerja
seseorang dalam melaksanakan tugas, yaitu kesiapan kerja, kondisi kerja,
organisasi kerja, kepemimpinan, gaji, kesempatan mengemukakan ide, kesempatan
mempelajari tugas, jam kerja, dan kemudahan kerja (Tiffin, 1952). Di sisi lain,
hasil penelitian Sylvia dan Hutchison juga menemukan bahwa ada enam faktor yang
mempengaruhi turunnya semangat kerja pegawai, khususnya guru, yaitu dukungan
teman sejawat, hubungan dengan pimpinan, gaji, pekerjaan dan tanggung jawab,
kurangnya kesempatan berkembang, kondisi kerja, dan beban kerja yang berlebihan
(Gorton, 1991). Secara lebih jelas, Mc Laughtin menemukan bahwa ada empat
faktor yang menyebabkan rendahnya semangat kerja guru, yaitu kurangnya input
dalam pengambilan keputusan, kurangnya hubungan teman sejawat, dan kurangnya
pengakuan prestasi.
Berdasarkan landasan tersebut, dapat digarisbawahi bahwa
kepemimpinan sangat berperan dalam meningkatkan semangat kerja guru dalam
melaksanakan tugas di sekolah dasar. Tinggi rendahnya semangat kerja guru
banyak dipengaruhi oleh kepemimpinan kepala sekolah. Semakin baik kepala
sekolah menerapkan kepemimpinan, semakin tinggi pula semangat kerja guru dalam
melaksanakan tugas. Sebaliknya, semakin jelek kepala sekolah menerapkan
kepemimpinan, semakin rendah pula semangat kerja guru dalam melaksanakan
tugas-tugas di sekolah.
Dalam
rangka melaksanakan tugas profesionalnya, guru sekolah dasar dituntut untuk
memiliki kemampuan yang baik. Sebab hanya dengan kemampuan guru dalam
melaksanakan tugas yang baiklah keberhasilan pendidikan di sekolah dapat
tercapai dengan baik. Guru merupakan komponen sentral yang menentukan
keberhasilan pendidikan di sekolah. Pengembangan guru tersebut dilakukan
melalui berbagai kegiatan pengembangan profesional guru.
Bila
ditelaah dari sisi historis, perkembangan kegiatan pengembangan guru berkaitan
erat dengan perkembangan ilmu manajemen. Ada tiga tahap perkembangan ilmu
manajemen yang mewarnai perkembangan kegiatan pengembangan guru, yaitu scientific management yang berkembang
mulai awal tahun 1900 sampai dengan tahun 1936, human relation management, yang berkembang mulai tahun 1937 sampai
dengan tahun 1959, dan behavior research
management, yang berkembang mulai tahun 1960 sampai dengan tahun 1970
(Owens, 1991). Dewasa ini, yang sedang banyak dikembangkan adalah human
resources management.
Ditinjau
dari teknik yang digunakan, kegiatan pengembangan profesional guru, secara
garis besar dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu pengembangan intensif (intensive development), pengembangan
kooperatif (cooperative development),
dan pengembangan mandiri (self directed
development) (Glatthorm, 1991).
Pengembangan
intensif (intensive development)
adalah bentuk pengembangan yang dilakukan pimpinan terhadap guru yang dilakukan
secara intensif berdasarkan kebutuhan guru. Model ini biasanya dilakukan
melalui langkah-langkah yang sistematis, mulai dari perencanaan, pelaksanaan,
sampai dengan evaluasi dan pertemuan balikan atau refleksi. Teknik pengembangan
yang digunakan antara lain melalui pelatihan, penataran, kursus, loka karya, dan
sejenisnya.
Pengembangan
kooperatif (cooperative development)
adalah suatu bentuk pengembangan guru yang dilakukan melalui kerja sama dengan
teman sejawat dalam suatu tim yang bekerja sama secara sistematis. Tujuannya
adalah untuk meningkatkan kemampuan profesional guru melalui pemberian masukan,
saran, nasehat, atau bantuan teman sejawat. Teknik pengembangan yang digunakan
bisa melalui pertemuan kelompok kerja guru (KKG). Teknik ini disebut juga
dengan istilah peer supervision atau collaborative supervision.
Pengembangan
mandiri (self directed development)
adalah bentuk pengembangan yang dilakukan melalui pengembangan diri sendiri.
Bentuk ini memberikan otonomi secara luas kepada guru. Guru berusaha untuk
merencanakan kegiatan, melaksanakan kegiatan, dan menganalisis balikan untuk
pengembangan diri sendiri. Teknik yang digunakan bisa melalui evaluasi diri (self evaluation) atau penelitian
tindakan (action research).
Di
sisi lain, hasil penelitian Raudenbush (1993) menunjukkan bahwa internal supervision yang termasuk
kegiatan pengembangan guru, memiliki dampak terhadap pengajaran guru. Hasil
penelitian Bisset dan Nichol (1998) juga menunjukkan bahwa pengembangan
profesional guru melalui kegiatan supervisi yang menekankan action research
bisa meningkatkan kemampuan profesional guru. Hasil penelitian Horn (1992) juga
menunjukkan bahwa pengalaman guru berpengaruh terhadap pertumbuhan personal dan
jabatan guru. Lebih lanjut, berdasarkan hasil telaah Neagley dan Evans (1980),
Glickman (1981) atau Sergiovanni (1991) menunjukkan bahwa kegiatan supervisi
yang termasuk pada kegiatan pengembangan guru dapat meningkatkan kemampuan
profesional guru dalam melaksanakan tugas, khususnya tugas di bidang
pengajaran.
Di
sisi lain, hasil penelitian White (1992) menunjukkan bahwa kesempatan guru
untuk terlibat dalam pengambilan keputusan sekolah berpengaruh terhadap
pertumbuhan jabatan guru. Hasil penelitian Berends (2000) juga menunjukkan
bahwa karakteristik program sekolah juga berpengaruh terhadap pertumbuhan
profesio-nalisme guru.
Berdasarkan
beberapa hasil penelitian yang ada, dapat digarisbawahi kepemimpinan kepala
sekolah berpengaruh terhadap peningkatan kemampuan guru dalam melaksanakan
tugas. Kepemimpinan kepala sekolah yang baik, akan memberikan kesempatan kepada
anggotanya, terutama gurunya, untuk selalu meningkatkan diri. Demikian juga
kepemimpinan kepala sekolah yang baik, juga akan berusaha untuk selalu
mengembangkan kemampuan anggotanya, terutama para gurunya, baik melalui
pengembangan dari atas, pengembangan teman sejawat, atau pengembangan diri
sendiri. Dengan meningkatnya kemampuan anggota, khususnya guru, akan
meningkatkan kinerja anggota. Dengan meningkatnya kinerja anggota, pada
akhirnya akan bisa meningkatkan ketercapaian tujuan organisasi sekolah.
Tujuan
akhir dari program peningkatan sumber daya manusia dalam suatu organisasi
adalah pencapaian profesionalisme personel dalam menjalankan tugas. Peningkatan kemampuan
personel pada dasarnya diarahkan untuk meningkatkan profesionalisme personel
dalam melaksanakan tugas. Demikian juga, peningkatan semangat kerja personel
dalam organisasi, pada dasarnya diarahkan untuk meningkatkan profesionalisme
personel dalam melaksanakan tugas. Dengan demikian, peningkatan semangat kerja
ataupun kemampuan guru dalam melaksanakan tugas pada dasarnya ditujukan untuk
meningkatkan profesionalisme guru dalam menjalankan tugas-tugas sebagai guru.
Istilah
profesionalisme guru bukan merupakan istilah asing dalam dunia pendidikan.
Secara sederhana, profesional berasal dari kata profesi yang berarti jabatan.
Orang yang profesional adalah orang yang mampu melaksanakan tugas jabatannya
secara mumpuni, baik secara konseptual maupun aplikatif. Guru yang profesional
adalah guru yang memiliki kemampuan yang mumpuni dalam melaksanakan tugas
jabatan guru.
Bila
ditinjau secara lebih detail,ada beberapa karakteristik profesionalisme guru.
Rebore (1991) mengemukakan bahwa karakteristik profesionalisme guru bisa
ditinjau dari enam komponen, yaitu: (1) pemahaman dan penerimaan dalam melaksanakan
tugas, (2) kemauan melakukan kerja sama secara efektif dengan siswa, guru,
orang tua siswa, dan masyarakat, (3) kemampuan mengembangkan visi dan
pertumbuhan jabatan secara terus menerus, (4) mengutamakan pelayanan dalam
tugas, (5) mengarahkan, menekan dan menumbuhkan pola perilaku siswa, serta (6)
melaksanakan kode etik jabatan.
Di
sisi lain, Glickman (1981) memberikan ciri profesionalisme guru dari dua sisi,
yaitu kemampuan berpikir abstrak (abstraction)
dan komitmen (commitment) guru. Guru
yang profesional memiliki tingkat berpikir abstrak yang tinggi, yaitu mampu
merumuskan konsep, menangkap, mengidentifikasi, dan memecahkan berbagai macam
persoalan yang dihadapi dalam tugas, dan juga memiliki komitmen yang tinggi
dalam melaksanakan tugas. Komitmen adalah kemauan kuat untuk melaksanakan tugas
yang didasari dengan rasa penuh tanggung jawab.
Lebih
lanjut, Welker (1992) mengemukakan bahwa profesionalisme guru dapat dicapai
bila guru ahli (expert), dalam melakasanakan
tugas, dan selalu mengembangkan diri (growth).
Lebih lanjut, Glatthorm (1990) mengemukakan bahwa dalam melihat profesionalisme
guru, disamping kemampuan dalam melaksanakan tugas, juga perlu mempertimbangkan
aspek komitmen dan tanggung jawab (responsibility),
serta kemandirian (autonomy).
Berdasarkan
berbagai kajian teori tersebut, dapat digarisbawahi bahwa secara umum ada empat
karakteristik profesionalisme guru, yaitu (1) ahli dalam melaksanakan tugas (expert), (2) memiliki rasa tanggung
jawab (responsibility), (3) memiliki
kemandirian (autonomy), dan (4)
selalu berusaha untuk mengembangkan diri (professional
growth). Profesionalisme guru dalam melaksanakan tugas tercermin pada
keahlian, tanggung jawab, kemandirian, dan kemauan guru untuk terus
mengembangkan diri secara terus-menerus dalam melaksanakan tugas-tugas jabatan
guru.
Bila
ditelaah dari unsur-unsurnya, pada dasarnya ada dua aspek yang menentukan
tingkat profesionalisme guru dalam melaksanakan tugas, yaitu aspek kemampuan
dan kemauan. Guru yang profesional adalah guru yang memiliki kemampuan dan
kemauan yang baik dalam melaksanakan tugas-tugas jabatan. Dengan kata lain, memiliki
kemampuan dan semangat kerja yang baik dalam melaksanakan tugas. Untuk itu,
dalam meningkatkan profesionalisme guru, perlu didukung dengan kemampuan yang baik
dan semangat kerja yang baik. Dan semua itu, bisa berkembang dengan baik, bila
kepala sekolah menerapkan kepemimpinan yang baik. Kontribusi kepemimpinan
kepala sekolah terhadap kemampuan dan semangat kerja, serta profesionalisme
guru dalam melaksanakan tugas tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

Berdasarkan
gambar tersebut di atas, dapat digarisbawahi bahwa peranan kepemimpinan sangat
besar dalam meningkatkan kemampuan guru, semangat kerja guru, dan profesionalisme
guru dalam melaksanakan tugas. Bahkan dapat dikatakan kepemimpinan kepala
sekolah merupakan faktor kunci yang menentukan terhadap peningkatan kemampuan,
semangat kerja, dan profesionalisme guru dalam melaksanakan tugas. Guru akan
bisa berkembang, bila kepala sekolah menciptakan situasi dan kondisi yang
memungkinkan guru bisa berkembang dengan baik. Guru juga akan memiliki semangat
kerja yang baik, bila kepala sekolah mampu menciptakan iklim kerja yang
kondusif. Dengan meningkatnya kemampuan dan semangat kerja guru yang
berkelanjutan merupakan kunci tercapainya profesionalisme guru dalam
melaksanakan tugas. Dengan profesionalisme guru dalam melaksanakan tugas, akan
menjadi sarana tercapainya keefektifan kerja organisasi sekolah, yang secara
langsung akan menjadi sarana utama tercapainya tujuan penyelenggaraan
pendidikan di sekolah secara optimal.
Motivasi
kerja, kemampuan, dan profesionalisme melaksanakan tugas cenderung mengacu pada
perilaku individu dalam organisasi. Untuk melihat
keberhasilan kepemimpinan, juga perlu dilihat pengaruhnya terhadap anggota
secara kelompok. Adanya kerja sama yang baik di antara anggota secara kelompok
akan lebih menunjang terhadap pencapaian tujuan organisasi sekolah,
dibandingkan bekerja secara sendiri-sendiri. Bahkan dari beberapa kajian teori
yang ada, perilaku kepemimpinan yang utama bisa diarahkan pada dua fungsi,
yaitu perilaku yang berkaitan dengan tugas yang harus dilaksanakan, dan
perilaku yang berkaitan dengan hubungan dalam kerja kelompok dengan bawahan.
Salah satu komponen yang menunjukkan keberhasilan anggota secara kelompok
adalah keefektifan kerja tim.
Kelompok
dalam organisasi secara sederhana dapat diartikan dua orang atau lebih yang
saling berinteraksi dan saling mempengaruhi dalam suatu cara tertentu (Hughes,
Ginnet & Curphy, 1999). White dan Bednar (1991) mengemukakan bahwa kelompok
adalah dua orang atau lebih yang saling berkomunikasi, memiliki keterikatan
masa lalu atau masa depan, dan memiliki fungsi saling bergantung dalam rangka
mencapai tujuan bersama. Di sudut lain, Robbins (2001) mengemukakan bahwa
kelompok adalah dua individu atau lebih yang berinteraksi dan saling tergantung
untuk mencapai tujuan. Tim merupakan kelompok yang efektif.
Ada
empat komponen yang membedakan tim dengan kelompok, yaitu memiliki rasa
identifikasi yang lebih kuat, memiliki konsensus terhadap tujuan yang lebih
kuat, memiliki saling ketergantungan yang lebih kuat, dan memiliki peranan yang
lebih khusus dalam mencapai tujuan. (Hughes, Ginnet, & Curphy, 1999). Tim
kerja menghasilkan sinergi positif melalui usaha yang terkoordinasi (Robbin,
2001).
Keefektifan
kerja tim bisa dilihat dari beberapa aspek. Hal itu bisa dikaji dari teori
keefektifan tim. Banyak ahli yang mengemukakan karakteristik tim kerja yang
efektif dari beberapa sudut pandang. Secara sederhana, White dan Bednar (1991)
mengemukakan tiga karakteristik keefektifan tim, yaitu (1) hasil kerja tim
dapat mencapai tujuan, yakni sesuai dengan harapan pengguna, (2) kemampuan
anggota dalam bekerja sama dapat dipertahankan dan di-tingkatkan, dan (3)
anggota memiliki kepuasan terhadap hasil kerja tim.
Di
sisi lain, Jenk (1990) mengemukakan karakteristik tim kerja yang efektif dari
tujuh komponen. Dari sisi interaksi, ada kejujuran, keterbukaan, dan komunikasi
dua arah di antara anggota dalam mencapai tujuan organisasi. Dari sisi tujuan,
setiap anggota memahami dengan jelas, dan bekerja sama untuk mencapai tujuan. Dari sisi
keanggotaan, antara anggota satu dengan lainnya saling mengenal dan saling
mempertahankan tim yang efektif. Dari sisi kekohesifan, masing-masing anggota
saling menerima dan memberikan dukungan. Dari sisi norma, setiap anggota
memahami dan mematuhi aturan yang telah disepakati. Dari sisi dinamika,
keputusan yang penting selalu ditetapkan bersama, bila ada konflik tidak
ditekan atau dibiarkan, tetapi dianggap sebagai aspek komunikasi yang terbuka.
Di
sisi lain, Kreitner dan Kinicki (1992) mengemukakan dua kriteria keefektifan
tim kerja, yaitu: (1) dari sisi performansi, hasil kerja dapat mencapai tujuan,
yakni sesuai dengan pengguna, dan (2) dari sisi keberlangsungan, anggota
memiliki kepuasan terhadap kerja tim, serta berkemauan untuk mempertahankan
kelompok.
Menurut
Kreitner dan Kinicki (1992) ada tiga komponen utama yang menentukan keefektifan
kerja tim, yaitu kooperatif, kepercayaan dan kekohesifan. Kooperatif mengacu
pada keterpaduan dalam melaksanakan kerja sama yang baik di antara anggota. Hal
tersebut mencakup kolaborasi dan koordinasi. Tiap anggota memiliki tanggung
jawab bersama untuk mencapai tujuan, dan terdapat koordinasi yang baik di
antara anggota dalam melaksanakan tugas. Kepercayaan memiliki makna antara
anggota saling memiliki kepercayaan dalam melaksanakan tugas, baik yang
berkaitan dengan niat, tujuan atau perilaku untuk untuk mencapai tujuan
organisasi. Kekohesifan mengacu pada tingkat keharmonisan dan keeratan hubungan
di antara anggota melebihi perbedaan yang dimiliki masing-masing anggota.
Di
sisi lain, Gordon, Mondy dan Sharphin (1990) mengemukakan delapan karakteristik
keefektifan kerja tim, yaitu: (1) semua anggota memahami dan berusaha mencapai
tujuan, (2) semua anggota saling mendengarkan dan berpartisipasi, (3) semua
anggota bebas mengekspresikan dan menerima respon, (4) bila ada masalah yang
muncul, didiagnosa dengan hati-hati dan dipecahkan bersama, (5) semua anggota
memiliki kesempatan sama dalam mendukung organisasi sesuai dengan kemampuannya,
(6) semua anggota mendukung terhadap konsensus yang telah dibuat, (7) antara
anggota satu dengan lainnya saling memiliki kepercayaan, dan (8) memiliki
fleksibilitas dalam menemukan cara baru yang lebih baik.
Secara
singkat Wagner dan Hollenbeck (1998) mengemukakan tiga kreteria keefektifan
kerja tim, yaitu: (1) hasil kerja tim sesuai dengan standar yang ditetapkan,
(2) kepuasan anggota terpenuhi, dan (3) meningkatkan kerja sama anggota.
Berdasarkan
beberapa landasan tersebut, dapat digarisbawahi bahwa ada beberapa komponen
yang menunjukkan keefektifan kerja tim. Komponen-komponen tersebut bisa
mencakup proses dan bisa juga mencakup hasil. Adanya kerja sama yang baik,
koordinasi yang baik, komunikasi, interaksi, kejujuran, kepercayaan, dan
kekohesifan di antara anggota dalam melaksanakan tugas merupakan komponen yang
mengacu pada proses. Adanya kepuasan anggota, ketercapaian tujuan sesuai dengan
harapan, meningkatnya kerja sama, dan fleksibilitas untuk mengembangkan diri,
merupakan komponen yang mengacu pada hasil.
Berdasarkan
landasan tersebut, maka keefektifan kerja tim guru dapat ditelaah dari tiga sub
dimensi, yaitu (1) kerjasama guru dalam melaksanakan tugas, yang ditandai
dengan adanya kebersamaan antar guru dalam melaksanakan tugas, saling jujur,
saling percaya, saling terbuka, saling memberikan masukan, saling bekerja sama,
dan saling bekerja keras untuk mencapai tujuan organisasi, (2) keterpaduan guru
dalam melaksanakan tugas, yang ditandai dengan adanya tanggung jawab bersama
dalam melaksanakan tugas, ketahanan menjaga kesatuan dalam melaksanakan tugas,
memecahkan masalah bersama secara efektif, dan memiliki fleksibiltas untuk
mengembangkan cara-cara baru yang lebih baik dalam melaksanakan tugas, serta
(3) keefektifan hasil, yang ditandai dengan ketercapaian hasil sesuai dengan
standar yang ditetapkan, pemahaman terhadap tujuan semakin meningkat, kerja
sama antar guru meningkat, kemampuan guru berkembang, dan kepuasan guru sebagai
anggota kelompok juga berkembang.
Keefektifan
kerja tim guru, juga dipengaruhi oleh kepemimpinan kepala sekolah. Kepemimpinan
yang baik akan menekankan kerja sama tim dibandingkan kerja individual. Dengan
menekankan kerja sama tim, dan didukung dengan pemberian perhatian secara adil
terhadap semua anggota, akan membawa dampak meningkatnya keefektifan kerja tim
anggota. Oleh karena itu, semakin tinggi kepala sekolah dasar menerapkan kepemimpinan
secara tepat, akan membawa dampak meningkatnya keefektifan kerja tim guru dalam
melaksanakan tugas-tugas sekolah. Keefektifan kerja tim guru bisa dilihat dari
tiga aspek, yaitu kerjasama guru dalam melaksanakan tugas, keterpaduan guru
dalam melaksanakan tugas, dan keefektifan hasil yang dicapai guru Hal tersebut
didukung dengan hasil penelitian Barnett, McCormick & Conners (1999) yang
menunjukkan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara kepemimpinan
dengan keefektifan kerja anggota organisasi.
Keefektifan
kerja tim guru akan berpengaruh terhadap peningkatan atau pembaharuan sekolah (school improvement). Untuk mencapai
suatu perubahan atau pembaharuan organisasi, diperlukan adanya kerja tim yang
efektif (Thompson, 2004). Hasil review Joyce (Reynolds, 1996) menunjukkan bahwa
hubungan kolaboratif antar personel dalam organisasi merupakan salah satu kunci
peningkatan atau pembaharuan organisasi. Komponen tersebut merupakan
karakteristik utama keefektifan kerja tim. Oleh karena itu, dapat digarisbawahi
bahwa ada hubungan yang sangat kuat antara keefektifan kerja tim guru dengan
peningkatan atau pembaharuan sekolah. Semakin efektif kerja tim guru semakin
tinggi tingkat peningkatan, pembaharuan atau kemajuan sekolah.
Bafadal, I & Imron, A. (2004) Manajemen
Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Malang: Kerjasama FIP UM dan
Ditjen-Dikdasmen.
Beach, D.S., 1980. Personnel,
The Management of People at Work.
New York: McMillan Publishing Co, Inc.
Barnett, K., McCormick, J. & Conners, R. 2000. Leadership Behaviour of Scondary School Principals,
Teacher Outcomes and School Culture. A paper presented at the
Australian Association for Research in Education Annual Conference.
Bisset, R.T. and Nichol, J. 1998. Sense
of Professionalism the Impact of 20-day Courses in Subject Knowledge on the
Professional Development of Teachers, Teacher
Development 2 (3). Hal. 433-451.
Campbell,
R.F., Corbally, J.E., & Nystrand, R.O. 1983. Introduction to Educational Administration. Boston: Allyn
and Bacon, Inc.
Daughtrey,
G. and Lewis, E.C.G. 1979. Effective Teaching Strategies in Secondary
Phisical Education. Philadelpia: Saunders Company.
Depdiknas.
2002. Manajemen Berbasis Sekolah
untuk Sekolah Dasar. Jakarta:
Depdiknas, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.
Depdiknas. 2003. Manajemen
Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta: Depdiknas, Direktorat
Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.
Feldmon, C.D, & Arnold, H.J. 1983. Managing Individual and Group Behavioral
in Organization. Auckland: Mc Graw Hill Book
Company.
Glatthorn,
A.A. 1990. SupervisoryLeadership:
Introduction to Instructional Supervision. New York: Harper Collins
Publishers.
Glickman,
C.D. 1981. Developmental Supervision.
Washington: Association for Supervision and Curriculum Development.
Gordon,
J.R., Mondy, R.W., & Sharplin, A., et al. 1990. Management and Organizational
Behavior. Boston: Allyn and Bacon.
Greenberg, J. & Baron, R.A. 1995. Behavior in Organizations: Understanding and Managing the
Human Side of Work. Englewood Cliffs:
Prentice Hall, Inc.
Gorton, R.A, & Schneider, G.T. 1991. School Based Leadership, Challenges and Opportunities. Keeper Boulevard, Dubuque:
Wm.C. Brown Publishers.
Horn,
J. 1998. Personal Renewal and
Professional Growth for Teachers: A Study of Meaningful Learning an
Interdisiplinary Environment, Teacher
Development 2 (3). Hal. 263-289.
Hoy, W.K., & Miskel, C.G. 1987. Educational Administration: Theory, Research, and Practice.
New
York: Random House, Inc.
Hoy, W.K., & Miskel, C.G. 2005. Educational Administration: Theory, Research, and Practice. New York: McGraw Hill
Company, Inc.
Hughes,
R.L., Ginnet, R.C., & Curphy, G.J. 1999. Leadership: Enhancing the Lessons of Experience. Boston:
McGraw-Hill Companies, Inc.
Kimbrough,
R.B & Burkett, C.W. 1990. The Principalship:
Concepts and Practices. Englewood Cliffs: Prentice Hall, Inc.
Lunenburg, F.C., & Ornstein, A.C. 2000. Educational Administration: Concept and Practices. Belmont: Wardsworth, A
Division of Thomson Learning.
Neagley, R.I. and Evan, N.D. 1980. Handbook for Effective
Supervision of Instruction. New Jersey: Prentice
Hall, Inc.
Newell,
C.A. 1978. Human Behavior in
Educational Administration. Englewood Cliffs: Prentice Hall, Inc.
Raka
Joni, T. 1991. Mencari Strategi Pengembangan Pendidikan Nasional Menjelang
Abad XXI, Pokok-pokok Pikiran mengenai Pendidikan Guru. Jakarta:
PT.Grasindo.
Raudenbush, S.W. et al. 1993. On
the Job Improvements in Teacher Competence: Policy Options and Their Effect on
Teaching and Learning in Thailand,
Educational Evaluation and Policy Analysis 15 (3). Hal. 279-297.
Reynolds, D., Bollen, R., Creemers, B., et al. 1996. Making Good Schools:
Linking School Effectiveness and School Improvement. London: Routledge.
Rossow,
L.F. 1990. The Principalship, Dimension in Instructional Leadership. New
Jersey: Prentice Hall, Inc.
Sahertian, P.A. & Sahertian, I.A. 1990. Supervisi Pendidikan dalam rangka Program Inservice
Education. Jakarta: Penerbit Rineka
Cipta.
Sergiovanni,
T.J. 1991. The Principalship: A
Reflective Practice Perspective. Boston: Allyn and Bacon.
Stoops,
E., & Johnson, R.e., 1967. Elementary School Administration.
New York: McGraw Hill Book Company.
Wagner,
J.A. & Hollenbeck, J.R. 1998. Organizational
Behavior: Securing Competitive Advantage. Upper Saddle River:
Prentice Hall, Inc.
White, P.A. 1992. The Teacher Empowerment under “Ideal”
School Site Autonomy, Educational
Evaluation and Policy Analysis 14 (1). Hal. 69-82.
White,
D. & Bednar, D.A. 1991. Organizational
Behavior: Understanding and Managing People at Work. Boston: Allyn and
Bacon.